Kamis, 01 Februari 2018

Secangkir Kopi


Hujannya sudah reda. Kopinya juga sudah dingin.  Semua seakan membeku.  Hanya sesakku yang tetap memburu. Menatap mu seperti ini.  Jika kamu pikir hatimulah yang paling hancur atas berita bahagianya.  Kamu salah.  Semestinya kamu tahu bahwa hatiku jauh lebih hancur melihatmu begini. Sudah hampir hampir 60 menit. Dan kamu masih tetap seperti itu.  Duduk dengan lesu sembari menatap tanpa minat kopi hitammu yang bahkan tidak kamu sentuh sedikitpun.

"Kalau kamu masih mau begini. Aku pulang saja. "  Ucapku akhirnya. Memecah kebisuan. 

Kamu hanya mengerling. Tak menjawab sedikitpun.

" Aku tahu kamu sedih. Kamu patah.  Kamu terluka. Tapi apa kamu pikir dengan begini semua bisa membaik?  Apa dengan begini kamu bisa memutar waktu untuk kemudian bisa lebih memperjuangkan Risa?"

"Ini semua takdir-Nya Ga. Kamu dulu selalu ngulur waktu buat perjuangin dia, itu bukan sepenuhnya salah kamu. Allah yang buat hati kamu ragu. Sampai  laki-laki itu lebih dulu datang kepada orang tuanya. Dan akhirnya Risa menerimanya dengan mudah. Kamu pikir itu salah kamu?  Salah laki-laki itu?  Salah Risa? Atau salah orang tuanya Risa?  Bukan Ga. Ini semua takdir-Nya. Atas kehendak-Nya.  Dan kamu mesti terima. "

Aku menghentakkan kakiku.  Baru saja ingin pergi. Tapi lagi, kamu menahannya. Pelan kamu tarik tas selempangku,  dan mengisyaratkan untukku kembali duduk.  Dan dengan bodohnya aku menurut. 

Baiklah Arga,  aku memang tak sepenuhnya ingin meninggalkanmu. Terlebih dalam keadaanmu seperti ini. Tapi rasanya aku memang perlu melarikan diri,  sebelum akhirnya buih-buih ini merobek tembok pertahananku dan meluncur dengan bebas dihadapanmu.  Cukup kamu yang terlihat mengenaskan hari ini. Aku tak ingin.

"Maapin aku." Katamu akhirnya.

Air mataku sudah berjatuhan dengan bebas saat itu.  Tanganku bahkan sudah kebas sejak tadi melawan dinginnya senja dan kota Bandung. Tapi untukmu aku mencoba kuat. Bagaimana tidak,  aku sahabat terbaikmu kan?  Setidaknya itu yang selalu kamu katakan,  meski pada kenyataannya hatiku selalu menolak . Aku mengharapkan yang lain ga.  Bukan hanya sekedar sahabat. Tapi baiklah. Mungkin aku hanya perlu mengesampingkan egoku . Dan untuk itu aku masih disini sekarang.

" Selagi aku masih mencintai Tuhan, kamu tak perlu khawatir. Karena mencintai Tuhan berarti mencintai juga takdir yang Ia berikan. Kan? "  katamu lagi, dan itu sontak membuatku terperangah.

" Heyy...  Itu kata-kata penulis favouritku kan?  Kamu masih ingat? "

" You are my best.  Aku baca apapun yang kamu baca. Dan rasanya aku gak bisa buat gak jatuh cinta sama apapun yang kamu suka.  So how I can forget it. "

Kamu tersenyum. Aku juga.  Arghh...  Bahkan pipiku terasa menghangat sekarang. Apa ia memerah? Owh lihat lah Arga. Bahkan hal paling kecil yang kamu lakukan selalu saja nampak begitu manis di mataku. Apa begini yang mereka katakan cinta?  Logika mampu tertutup begitu saja oleh banyaknya harapan-harapan yang di ciptakan oleh diri kita sendiri . Dan rasa sakit mampu menggelincir seketika, luruh hanya karena menyaksikan kamu tersenyum.


Matahari sudah semakin tenggelam. Langit juga sudah gelap. Udara Bandung semakin mendingin. Tapi hatiku tidak. Ia mengepul seperti asap kopi yang baru di tuang ke dalam cangkirnya. Hangat. 





TENTANG KITA

Kita tidak perlu menjelaskan kepada dunia bahwa kita dekat. Lebih dari satu dekade. Bukan waktu yang singkat untuk sebuah persahabatan. Mesk...