Jumat, 06 April 2018

Aku tak pernah menyangka jika hari ini akan tiba.  Ketika hari yang di tunggu2. Hari kepulangan. Hari yang semestinya menjadi titik kebahagian untuk kita karena kembali saling di pertemukan setelah sekian lama mengukur jarak. Tapi kenyataannya tidak. Takdir justru membawaku pulang kali ini untuk menyudahi segala kemelut dan ketidak pastian yang lama tercipta di antara kita. 

 Akirnya,  aku menyerah.  


Maap.  Bukan karena benar ingin,  kamu boleh melihat bendungan besar yang tengah ku simpan di kelopak mataku jika tidak percaya.  Hanya saja aku mulai lelah.  Menggantungkan harap pada segala ketiktahuan,  menunggumu dalam remang tanpa tahu apa kamu akan datang tuk membawakan lilin, atau justru mencipta gelap yang semakin pekat.  Sudah cukup.  Aku lelah untuk terus mencoba membaca segala aksaramu yang selalu nampak absurd.  Kali ini aku benar ingin menyerah. 


Seseorang di sebrang sana tengah siap menantiku sembari mengulurkan tangan.  Dia yang tengah siap membersamaiku menyudahi perjalanan sekaligus memulai petualangan yang baru.  Dalam biduk yang lebih Allah Ridhoi tentunya. 


Jika kamu bertanya tentang siapa dia?  Aku tidak tahu.  Tapi bagiku dia adalah kompas yang Allah kirim untuk menunjukkan arah dalam segala ketersesatanku.  Bukan hanya menunjukkan jalan pulang,  tapi dia juga menawarkan untuk membersamai perjalannan hingga kami sama sampai di tempat tujuan. 


Bukan hal yang mudah memang,  menerima seseorang baru untuk kemudian di jadikan partner seumur hidup. Terlebih segala bilik di hatiku sudah hampir terpenuhi seluruhnya oleh kamu.  



Tapi inilah hidup. Inilah jalan takdir-Nya.  Kamu yang ku pikir baik untukku, tapi ternyata tidak bagi Allah.  



Dan Allah pilihkan dia sebagai orang yang akan menjadi penyempurna separuh dari agamaku.  



Terdengar klise.  Memang.  Tapi bagaimanapun ku hanya yakin bahwa takdir-Nya selalu yang terbaik. 



Bertahun Allah biarkan perasaan itu terus tumbuh dan mengakar tanpa pernah memberi tahu kemana arahnya akan menjalar.  Bertahun ku biarkan segala berjalan seadanya,  meski sambil menahan tatih aku berjuang untuk bertahan. Mempertahankanmu.  Tapi sepertinya kamu tidak melakukan hal yang sama.  Berjuang sendirian itu melelahkan. Dan kamu membiarkanku melakukan itu.  Tapi aku tidak akan mengataimu jahat.  Anggap saja kamu memang tidak tahu tentang semua. 


Dan dengannya...  Segala terasa jauh lebih mudah.  Pertemuan tanpa nama,  dan percakapan tanpa tema menghantarkannya untuk yakin begitu saja,  bahwa akulah tulang rusuknya. Tanpa banyak kata,  dia begitu saja datang untuk menawarkan kepastian.  Di hadapan umi di hadapan abi,  dia kukuhkan niatnya  untuk memintaku secara gamblang.  Lalu bagian mana yang mesti membuatku untuk tidak menerimanya? 


Bukankah islam mengajarkan,  bahwa "jika ada laki-laki baik yang kamu Ridhoi agamanya datang melamarmu, maka terimalah. Karena jika tidak,  akan terjadi pitnah yang sangat besar."  


Dan tugasku sebagai umat hanyalah sami'na wa atona. Mendengar dan taat. 


Meski jika harus jujur.  Hatiku saat ini masih begitu limpung. Masih terbesit sedikit keinginan dan angan tentang, jika saja kamu yang datang terlebih dahulu.  Ahh sudahlah. Bukankah panjang angan-angan itu tidak baik. Dan hanya akan membuat kita tidak bersyukur. Karena walau bagaimanapun perasaanku saat ini terhadapmu, yang terpenting hatiku telah yakin untuk memilihnya.  Dan itu sudah cukup untuk menyudahi segala.


Aku kembali menatap tumpukan undangan bernuansa hijau yang tengah berjejer rapi di ruangan tengah di rumahku.  Masih menatapnya tidak percaya.  Iyah... Di salah satu kertas itu namamu tertulis.Seperti mimpiku bertahun lalu.Hanya saja nama kita tidak berdampingan disana.Ada nama laki-laki lain yang mengisi posisi itu. Sementara namamu...  Terukir dengan rapi dalam kotak tamu. 


Hatiku perih. Lalu bagaimana denganmu? 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TENTANG KITA

Kita tidak perlu menjelaskan kepada dunia bahwa kita dekat. Lebih dari satu dekade. Bukan waktu yang singkat untuk sebuah persahabatan. Mesk...