Sabtu, 30 Juni 2018



Gadis itu hanya ingin menangis. Entah karena apa . Yang jelas ia hanya ingin menumpahkan apa-apa yang selama ini tengah di bendungnya .

Sudah terlalu lama , telah terlalu banyak yang di simpannya . Mungkin kini memang waktunya . 

Gadis butuh meluapkan segala .

Tapi tuannya seolah menghilang . Gadis kebingungan . Kemana ia mesti berbicara ? 

Di lihatnya sebuah sajadah yang tergelar di sudut ruangan mungilnya .

Mungkin Ia butuh tempat untuk merebah .

Di Genggamnya tasbih hijau yang tergeletak di atas tempat tidur .

Di rapalnya kalimat syahdu yang kerap menjadi penghubung antara hati  juga Rabbnya .

Gadis menangis .

Air matanya tumpah tak terarah .

Hatinya sesak ….

Bukan karena seseorang nun jauh disana yang sedang sebegitu ingin ia lepas .

Tapi karena hatinya yang kian lemah .

Hati yang kerap salah menggenggam dalam berharap .

Hati yang membuatnya seolah limpung di buai perasaan .

Gadis hanya ingin melepaskan .

Segala yang memang bukanlah di takdir menjadi miliknya .

Gadis hanya ingin mengikhlaskan .

Bahwa apa-apa pasti saja menemukan jalan terbaiknya.

Di genggamnya lebih erat tasbih hijaunya .

Gadis kembali menggumam …. Kali ini ada janji-janji yang tak terdengar yang di gaungkan oleh hatinya .

Setelah ini ia akan kembali menguat , setelah ini tak akan ada lagi janji tanpa tanggung jawab yang akan di peluknya erat .

Gadis melepaskan …. Dan ia akan belajar untuk mengikhlaskan .

Rabu, 27 Juni 2018

Pamit



Hujan kali ini masih bercerita tentang hal yang sama .

Tentang rindu-rindu yang di endapkan, yang kemudian menguar dan mengalir bersama tetesannya .

Dari balik jendela .

Ku tatap lekat rumput yang tumbuh di pekarangan rumah . 

“ Haii … jejak mu pernah berada disana bukan ? Apakah ia akan benar terhapus , terbawa hanyut bersama dengan aliran hujan ? Lalu bagaimana dengan kisah kita ? “

Wahai Rindu … kenapa tidak menghampiri mereka yang sudah benar-benar di persatukan-Nya saja .

Aku hanyalah selembar kertas yang pernah di tulisinya sebuah puisi , yang kemudian di coretnya kembali . Kemudian kertas itu di remasnya , lalu di biarkan teronggok begitu saja di sudut kamar .
Dia hanya belum sempat membuangnya keluar , mungkin .

Tapi kertas itu dengan polosnya masih saja berharap . Bahwa seseorang disana akan menemukannya , memungutnya , untuk kembali di letakkan di dalam buku dan kembali di tulisi .

Oh … ada apa dengan hujan ? Kenapa tak sedingin biasanya ? kenapa gigil ini justru membuat mataku terasa memanas  ?

Ada yang hendak di tumpahkan . Tapi kemudian kembali di redam nya dengan keras .

Jangan lemah …

Segalanya akan baik-baik saja .

Aku kembali terdiam . Menatap hujan yang mulai mereda . 

Sebentar lagi segala akan kembali pada titik terbaiknya . Langit akan kembali menjadi cerah . Dan bunga-bunga di halaman rumah akan kembali merekah .

Kamu pernah menjadi saksi bagaimana keidahan mereka selepas hujan bukan ? 

Pun semoga denganku .

Setelah ini mungkin aku akan semakin menguat . dan semoga juga dapat menjadi semakin baik.

Aku hendak belajar ikhlas … aku mau percaya saja pada janji juga takdir-Nya .

Bukankah itu pastilah yang terbaik ?

Dan teruntuk kamu . Terima kasih telah menjadi hujan .

Terimakasih karena telah menjadi ada , meski hanya untuk sementara .

Aku pamit .




Allah yang akan menyelesaikan segala keterikatan yang terjadi di antara kita . Bukankah setiap simpul akan terbuka pada waktu tertepat-Nya?
 Bukan ingin pergi.  Mungkin hanya butuh waktu.  Hingga segala terjawab dengan sebenar-benarnya .  Tanpa lagi ada banyak tanya tanpa lagi ada banyak terka.  Aku melepaskan,  dan aku mengikhlaskan.  Selamat jalan kamu. Aku pamit.

TENTANG KITA

Kita tidak perlu menjelaskan kepada dunia bahwa kita dekat. Lebih dari satu dekade. Bukan waktu yang singkat untuk sebuah persahabatan. Mesk...