Rabu, 10 Januari 2018

Ruang Tunggu


Ruang tunggu ini tadinya begitu sesak. Padat.  Di penuhi oleh berbagai rupa yang sama sedang menunggu kabar sembari sedikit gelisah.

"Bersabar yah. " kata seorang laki-laki berseragam putih yang baru saja keluar dari ruangan berbentuk persegi yang juga di dominasi dengan warna putih.

Aku mengangguk...  Pun dengan beberapa orang lainnya yang sedari tadi duduk di sisi kanan dan kiri. Ada rasa was-was,  takut,  juga debar-debar aneh yang mulai berkecamuk.

"Sampai kapan? " batinku. Sementara lelaki di pojok bangku itu sudah terkapar lemas dan kian memucat. Di sisinya berdiri seorang perempuan dengan wajah yang tak kalah khawatirnya denganku.

Abang ( begitu panggilanku pada lelaki itu) hari ini untuk yang kesekian kalinya harus mengecap rasa yang sama (lagi) .  

Merasakan (lagi)  bagaimana sakitnya ketika jarum impus menjalari urat nadinya untuk kemudian mengalirkan cairan bening di dalam kantung berbentuk plastik itu ke dalam tubuhnya. Harus merasakan (lagi) bagaimana tidak nyamannya terbaring di atas ranjang dengan seprai putih yang terkadang masih menyimpan bau obat-obatan. Membuat sesak.


Pikiranku terus melayang,  hingga tak sadar betapa ruang tunggu ini telah lama menjadi kosong. Sudah hampir satu jam yang lalu abang di bawa masuk ke ruangan bercat putih itu. Sementara penghuni lainnya yang tadi menunggu bersama sudah enyah dari pandangan mata. Entah sejak kapan. Dan kini hanya ada aku dan deretan bangku-bangku kosong yang nampak dingin. (lagi)  aku melewatkan banyak hal, hanya karena terlalu sibuk dengan pikiranku. Terlalu sibuk dengan duniaku. Hingga tak hirau pada apa yang ada di sekitarku. Dan ketika aku tersadar. Aku menjadi terperangah. ternyata sudah begitu banyak orang yang meninggalkanku. Membiarkanku duduk sendirian. Aku tertinggal dalam sebuah kotak persegi yang kosong, dingin,  tak berpenghuni, dan beku.

Pamit

Gadis itu masih menatap layar ponselnya,  kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah kurva yang sempurna. Ia tersenyum. Mungkin bahagia.  Tapi kelopak matanya justru menyiratkan perasaan yang lain. Sebuah pasukan nampak siap menjembol dinding pertahannanya hingga membuat titik-titik air itu dengan terpaksa menetes perlahan. 

Ada rasa sesak yang di sembunyikan. Tapi hatinya menolak untuk merasakan.

Sebuah potret dengan lukisan nyata dua 
insan yang tengah bersanding mesra di atas pelaminan. 

Laki-laki itu...  Ahh yah,  dia mengenal betul sosok itu. Sosok laki-laki dengan tatapan terhangat yang dulu pernah teramat sangat di puja. Laki-laki yang pernah menjadi bagian dari doa-doanya, laki-laki yang dulu kerap menghias mimpi-mimpi di tiap tidurnya.  Ahh yah... Sosok yang nyaris sempurna yang kerap di pintanya untuk kemudian di jadikan pelengkap separuh dari agamanya. Dulu. 2 tahun yang lalu. Sebelum segalanya berubah dan menyusutkan segala mimpi juga angannya.

Dan hari ini...  Setelah dengan sedemikian ia hindari, setelah berlama pergi dan seolah bersembunyi....  Hari ini laki-laki itu kembali. Meski hanya dalam bentuk potret, tapi cukup untuk membuat hatinya kembali tergetar.  

Laki-laki itu tersenyum,  di sampingnya bergelayut lengan dari seorang perempuan yang mengenakan gaun bernada serupa dengan jas yang ia kenakan. Nampak sangat amat bahagia. Semoga. 

Dan gadis itu berharap bahwa tangis yang kini ia rasakan juga merupakan tangis yang tersebab karena bahagia. Setidaknya laki-laki itu telah terlebih dahulu menemukan tulang rusuknya,  meski ternyata itu bukanlah dia. 

Tapi gadis itu bahagia. Ia bahagia karena menyaksikan orang yang dulu ingin sekali di bahagiakannya kini sudah bahagia, meski (lagi) bukan ia mencipta bahagia itu.  
Tidak apa...  Baginya, menyaksikan orang-orang terbaiknya bahagia adalah sebuah kebahagian lain yang tidak ternilai harganya. Meski untuk itu ia mesti menggadaikan sementara kebahagiaannya. 

 Tidak apa. Allah sudah menentukan. Dia hanya perlu ikhlas. 

Nanti jika sudah waktunya Allah pasti akan hadirkan.  Yang terbaik. Yang akan membawa bahagia yang sebenarnya untuknya. Yang akan menawarkan syurga untuk menjadi tujuan bersamanya. Iyah.

Gadis itu kembali tersenyum. Di sekanya butiran bening yang mengalir di pipi dengan jari jemari mungilnya. Di sentuhnya dua kali potret yang terpampang di layar ponselnya hingga menimbulkan lambang hati berwarna merah. Ia tersenyum...  Itu hatinya, yang kini juga ikut bahagia dengan kebahagiaan lelaki yang pernah dengan sedemikian di pujanya. 

Gadis itu kembali tersenyum...  Sebelum akhirnya ia benar-benar menyentuh tombol deactive pada laman istagramnya. Ia pamit. Pada dirinya sendiri.


Pergi untuk sementara demi menghindari luka. Mungkin itu cara paling bijak yang bisa ia lakukan untuk hatinya.  Bukan ingin menghindar. Hanya saja ia butuh waktu untuk berdamai dengan dirinya, dengan waktu,  juga dengan perasaanya. Segala akan membaik.  Pada waktunya ia akan menemukan bahagianya. Iyah, gadis itu hanya yakin pada takdir terbaik yang sudah Allah rancangkan untuk-Nya. Sekali lagi. gadis itu pamit.  

Kamis, 04 Januari 2018

Ini hari ke 4 di bulan januari.  Masih ngegalau?  Iyah. 

Saya sering merasa heran pada diri sendri perihal masalah yang sebenarnya saya sudah mengerti cara penyelesaiannya, pun inti dari masalahnya.  Tapi saya masih saja memilih untuk berkutat dan kerepotan dengan mengiyakan saja ketika hati dan pikiran saya memaksa untuk terus menyuarakannya.  Memaksakan diri untuk terus memikirkan apa iyah langkah yang saya ambil sudah tepat atau belum?  Terus maju, atau  berbalik arah dan kembali ke zona yang membuat sesak.  

Manusia sih suka gitu yah.  

Ada yang meminta pendapat.  Baiknya A atau B...  Setelah di beri saran A...  Dia malah kekeuh untuk melakukan yang B atau justru beralih ke tindakan C. Bikin pusing sendiri kan? 

 Dan inti dari permasalahannya adalah keinginan yang terlalu kuat untuk tetap bertahan dalam kondisi yang sebenarnya sudah mesti di lepaskan.  Jangan memaksakan diri.  Yang tidak mampu di raih,  yang memang tidak di takdirkan untuk di miliki, mau sekeras apa di perjuangkan...  Mau sejauh apa di pertahankan. Tetap saja pada akhirnya mesti dengan ikhlas di lepaskan. Iyahkan? 


4 Jan 2018
Penghujung tahun.  Buku lamanya di tutup yah.  Saat nya di ganti dengan buku yang baru. Sudah waktunya melepaskan. Mengikhlaskan. Menerbangkan apa yang memang tidak semestinya kita genggam.  Yang erat...  Yang pernah dengan sebegitu kuat di perjuangkan. Namun ternyata belum jua menemukan jawaban.

  Relakan.
"Di awal tahun.  Kemarin pernah ku katakan kepada semesta bahwa, Teruntuk saat ini aku hanya  ingin menjadi bagian dari doamu yang di langitkan ( saja).  Tahun nya berlalu, waktunya pun ikut berlalu.  Lalu bolehkah ku ganti inginku dengan ingin yang lain?"

"Apa?"

"Aku ingin menjadi bagian dari doamu yang di nyatakan oleh Tuhan."

(Cukup)
31 Des 2017

TENTANG KITA

Kita tidak perlu menjelaskan kepada dunia bahwa kita dekat. Lebih dari satu dekade. Bukan waktu yang singkat untuk sebuah persahabatan. Mesk...