Rabu, 10 Januari 2018

Pamit

Gadis itu masih menatap layar ponselnya,  kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah kurva yang sempurna. Ia tersenyum. Mungkin bahagia.  Tapi kelopak matanya justru menyiratkan perasaan yang lain. Sebuah pasukan nampak siap menjembol dinding pertahannanya hingga membuat titik-titik air itu dengan terpaksa menetes perlahan. 

Ada rasa sesak yang di sembunyikan. Tapi hatinya menolak untuk merasakan.

Sebuah potret dengan lukisan nyata dua 
insan yang tengah bersanding mesra di atas pelaminan. 

Laki-laki itu...  Ahh yah,  dia mengenal betul sosok itu. Sosok laki-laki dengan tatapan terhangat yang dulu pernah teramat sangat di puja. Laki-laki yang pernah menjadi bagian dari doa-doanya, laki-laki yang dulu kerap menghias mimpi-mimpi di tiap tidurnya.  Ahh yah... Sosok yang nyaris sempurna yang kerap di pintanya untuk kemudian di jadikan pelengkap separuh dari agamanya. Dulu. 2 tahun yang lalu. Sebelum segalanya berubah dan menyusutkan segala mimpi juga angannya.

Dan hari ini...  Setelah dengan sedemikian ia hindari, setelah berlama pergi dan seolah bersembunyi....  Hari ini laki-laki itu kembali. Meski hanya dalam bentuk potret, tapi cukup untuk membuat hatinya kembali tergetar.  

Laki-laki itu tersenyum,  di sampingnya bergelayut lengan dari seorang perempuan yang mengenakan gaun bernada serupa dengan jas yang ia kenakan. Nampak sangat amat bahagia. Semoga. 

Dan gadis itu berharap bahwa tangis yang kini ia rasakan juga merupakan tangis yang tersebab karena bahagia. Setidaknya laki-laki itu telah terlebih dahulu menemukan tulang rusuknya,  meski ternyata itu bukanlah dia. 

Tapi gadis itu bahagia. Ia bahagia karena menyaksikan orang yang dulu ingin sekali di bahagiakannya kini sudah bahagia, meski (lagi) bukan ia mencipta bahagia itu.  
Tidak apa...  Baginya, menyaksikan orang-orang terbaiknya bahagia adalah sebuah kebahagian lain yang tidak ternilai harganya. Meski untuk itu ia mesti menggadaikan sementara kebahagiaannya. 

 Tidak apa. Allah sudah menentukan. Dia hanya perlu ikhlas. 

Nanti jika sudah waktunya Allah pasti akan hadirkan.  Yang terbaik. Yang akan membawa bahagia yang sebenarnya untuknya. Yang akan menawarkan syurga untuk menjadi tujuan bersamanya. Iyah.

Gadis itu kembali tersenyum. Di sekanya butiran bening yang mengalir di pipi dengan jari jemari mungilnya. Di sentuhnya dua kali potret yang terpampang di layar ponselnya hingga menimbulkan lambang hati berwarna merah. Ia tersenyum...  Itu hatinya, yang kini juga ikut bahagia dengan kebahagiaan lelaki yang pernah dengan sedemikian di pujanya. 

Gadis itu kembali tersenyum...  Sebelum akhirnya ia benar-benar menyentuh tombol deactive pada laman istagramnya. Ia pamit. Pada dirinya sendiri.


Pergi untuk sementara demi menghindari luka. Mungkin itu cara paling bijak yang bisa ia lakukan untuk hatinya.  Bukan ingin menghindar. Hanya saja ia butuh waktu untuk berdamai dengan dirinya, dengan waktu,  juga dengan perasaanya. Segala akan membaik.  Pada waktunya ia akan menemukan bahagianya. Iyah, gadis itu hanya yakin pada takdir terbaik yang sudah Allah rancangkan untuk-Nya. Sekali lagi. gadis itu pamit.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TENTANG KITA

Kita tidak perlu menjelaskan kepada dunia bahwa kita dekat. Lebih dari satu dekade. Bukan waktu yang singkat untuk sebuah persahabatan. Mesk...