Minggu, 30 Desember 2018

Aku pernah setakut itu

Aku pernah setakut itu.


Iyah...  Saat itu aku hanya menunduk,  menekuni tali sepatu yang tak pernah benar ku ikat dengan kuat simpulnya.


" Kenapa? " tanyamu .  Heran.

Aku menatapmu sekilas.


" Tidak apa. Aku hanya takut. "


" Takut? "


" Iyah...  Aku hanya takut kesulitan melepasnya kembali jika terlalu kuat mengikat. "


"Hahah...  Kamu ini ada-ada saja."

Aku melihatmu tertawa.  Hatiku mencelos. Ahh...  Kamu hanya belum mengerti benar perihal perempuan kan?

Dan hari ini...  Jika saja kamu mengingatnya,  kamu akan melihat bagaimana ketakutan-ketakutan itu menjelma menjadi nyata.
Nyatanya aku tak sengaja mengikat perasaan itu terlalu kuat.  Dan kamu hanya tak sengaja membiarkannya tumbuh sekejap.  Lalu pergi mencari arah yang lain.  Katamu selama ini kamu hanya salah menepi.  Oh bukan katamu,  tapi setidaknya itu yang terbaca olehku.

Dan disini.  Saat ini.  Aku sedang sebegitunya bersusah payah melepas simpul yang pernah kamu ikatkan.
Aku kesulitan. Kamu tak perduli.  Aku bisa apa?


31 Desember 2018

Rabu, 08 Agustus 2018

Tentang Sebuah Nama dalam DOA



Allahumma Solli Aala Sayyidina Muhammad Wa aala Aali Sayyidina Muhammad .

Gadis itu masih terdiam ,sembari menatap kosong layar laptopnya yang hanya bertuliskan shalawat kepada Rasul-NYA .

Hatinya bergemuruh . Ada banyak hal yang ingin di tumpahkannya . Tapi tak tahu harus memulai dari mana .

Tetiba gadis teringat tentang mimpi-mimpinya . Tetang apa-apa yang kerap memenuhi rongga hatinya akhir-akhir ini .

Tentang sebait nama . 

Ahhh bahkan untuk sekedar menyebutnya saja gadis merasa lidahnya terasa begitu kelu . Gadis merasa tak mampu . Gadis merasa terlalu takut .

Hingga akhirnya gadis memilih untuk menumpahkan segala dalam doa-doa di sujud panjangnya.

Malam itu … Gadis kembali terisak . Hening kembali menjadi sahabat ternyamannya untuk menumpahkan segala . Surat Ar-rahman menjadi satu-satunya alunan yang terdengar dari sebuah ruang mungil berbentuk kotak persegi yang di sebutnya sebagai kamar .Itu isi hatinya. Mengalun pelan , di selingi  suara isak yang terdengar mulai menyerak . Air matanya tengah tumpah tak teraarah . 

Gadis memohon ampun kepada Rabb-nya . Atas segala rindu tak tertahan yang kerap membuat hatinya terasa begitu sesak . Atas airmata yang jatuh begitu saja . Atas segala rasa yang kini tengah di tahannya mati-matian .

Ada gemuruh yang mendorongnya untuk sekedar menyapa. Tapi lagi , hati kecilnya kembali mengingatkan .Belum saatnya . Biar Dia yang tunjukkan kemana kisahnya akan bermuara . Jika memang benar dia …. Biar Dia yang tuntun hatinya untuk bisa dekat dengan hati sang gadis. Biar Dia yang hadirkan cinta di hatinya untuk sang gadis.

Gadis tak punya kekuatan . Lagi , ia hanya bisa terisak . Di atas sajadah segalanya luruh dengan sedemikian pasrah .

Genggaman tangannya  kian menguat , sebuah tasbih menjadi sahabatnya kini .Gadis mulai meerafal , Dzikir apa saja yang sekira dapat membuat hatinya terasa jauh lebih tenang .

Malam itu gadis kembali melapaskan . Dan hatinya kembali belajar untuk meng’ikhlaskan .

27 Juli 2018 (Tentang sebuah nama dalam doa)

Selamat melanjutkan perjalanan



 Ternyata aku tak sekuat dia . Ternyata aku tak sesabar dia. Aku tahu seberapa besarnya ia menahan kesakitannya untuk tetap bertahan di dekatmu . Sementara aku justru memilih pergi . Menghilang. Menghindarimu . Bagaimanalah ….  Aku hanya merasa bahwa memang ini adalah cara terbaik . Bukan hanya untuk hatiku … tapi juga untuk kita . Bukankah dengan begini tak perlu ada yang merasa terbebani  ? Aku tak perlu tahu apapun lagi tentangmu . Dan kamu … tidak perlu lagi menjaga perasaanku . Kamu bebas .

Kamu berhak untuk menjadi dekat dengan siapapun . Dan tugasku … hanya mendoakan yang terbaik untukkmu .

Aku tak akan menunggumu .

Tapi aku … akan selalu berbahagia atas segala kebahagiaanmu .

Selamat melanjutkan perjalanan 08 Agust 2018

Sabtu, 30 Juni 2018



Gadis itu hanya ingin menangis. Entah karena apa . Yang jelas ia hanya ingin menumpahkan apa-apa yang selama ini tengah di bendungnya .

Sudah terlalu lama , telah terlalu banyak yang di simpannya . Mungkin kini memang waktunya . 

Gadis butuh meluapkan segala .

Tapi tuannya seolah menghilang . Gadis kebingungan . Kemana ia mesti berbicara ? 

Di lihatnya sebuah sajadah yang tergelar di sudut ruangan mungilnya .

Mungkin Ia butuh tempat untuk merebah .

Di Genggamnya tasbih hijau yang tergeletak di atas tempat tidur .

Di rapalnya kalimat syahdu yang kerap menjadi penghubung antara hati  juga Rabbnya .

Gadis menangis .

Air matanya tumpah tak terarah .

Hatinya sesak ….

Bukan karena seseorang nun jauh disana yang sedang sebegitu ingin ia lepas .

Tapi karena hatinya yang kian lemah .

Hati yang kerap salah menggenggam dalam berharap .

Hati yang membuatnya seolah limpung di buai perasaan .

Gadis hanya ingin melepaskan .

Segala yang memang bukanlah di takdir menjadi miliknya .

Gadis hanya ingin mengikhlaskan .

Bahwa apa-apa pasti saja menemukan jalan terbaiknya.

Di genggamnya lebih erat tasbih hijaunya .

Gadis kembali menggumam …. Kali ini ada janji-janji yang tak terdengar yang di gaungkan oleh hatinya .

Setelah ini ia akan kembali menguat , setelah ini tak akan ada lagi janji tanpa tanggung jawab yang akan di peluknya erat .

Gadis melepaskan …. Dan ia akan belajar untuk mengikhlaskan .

Rabu, 27 Juni 2018

Pamit



Hujan kali ini masih bercerita tentang hal yang sama .

Tentang rindu-rindu yang di endapkan, yang kemudian menguar dan mengalir bersama tetesannya .

Dari balik jendela .

Ku tatap lekat rumput yang tumbuh di pekarangan rumah . 

“ Haii … jejak mu pernah berada disana bukan ? Apakah ia akan benar terhapus , terbawa hanyut bersama dengan aliran hujan ? Lalu bagaimana dengan kisah kita ? “

Wahai Rindu … kenapa tidak menghampiri mereka yang sudah benar-benar di persatukan-Nya saja .

Aku hanyalah selembar kertas yang pernah di tulisinya sebuah puisi , yang kemudian di coretnya kembali . Kemudian kertas itu di remasnya , lalu di biarkan teronggok begitu saja di sudut kamar .
Dia hanya belum sempat membuangnya keluar , mungkin .

Tapi kertas itu dengan polosnya masih saja berharap . Bahwa seseorang disana akan menemukannya , memungutnya , untuk kembali di letakkan di dalam buku dan kembali di tulisi .

Oh … ada apa dengan hujan ? Kenapa tak sedingin biasanya ? kenapa gigil ini justru membuat mataku terasa memanas  ?

Ada yang hendak di tumpahkan . Tapi kemudian kembali di redam nya dengan keras .

Jangan lemah …

Segalanya akan baik-baik saja .

Aku kembali terdiam . Menatap hujan yang mulai mereda . 

Sebentar lagi segala akan kembali pada titik terbaiknya . Langit akan kembali menjadi cerah . Dan bunga-bunga di halaman rumah akan kembali merekah .

Kamu pernah menjadi saksi bagaimana keidahan mereka selepas hujan bukan ? 

Pun semoga denganku .

Setelah ini mungkin aku akan semakin menguat . dan semoga juga dapat menjadi semakin baik.

Aku hendak belajar ikhlas … aku mau percaya saja pada janji juga takdir-Nya .

Bukankah itu pastilah yang terbaik ?

Dan teruntuk kamu . Terima kasih telah menjadi hujan .

Terimakasih karena telah menjadi ada , meski hanya untuk sementara .

Aku pamit .




Allah yang akan menyelesaikan segala keterikatan yang terjadi di antara kita . Bukankah setiap simpul akan terbuka pada waktu tertepat-Nya?
 Bukan ingin pergi.  Mungkin hanya butuh waktu.  Hingga segala terjawab dengan sebenar-benarnya .  Tanpa lagi ada banyak tanya tanpa lagi ada banyak terka.  Aku melepaskan,  dan aku mengikhlaskan.  Selamat jalan kamu. Aku pamit.

Rabu, 18 April 2018

Senja ...
Kamu tahu , aku akan selalu menjadi wanita yang menatap cangkir kopimu yang kosong sembari tersenyum .
Lalu ?
Lalu diam-diam mengabadikan setiap detik demi detik yang tereka ke dalam memori . Kemudian menuliskannya .
Aku senang menjadikanmu tokoh yang seolah benar hidup dalam setiap ceritaku . Aku senang membayangkan kamu yang tersenyum sembari menatapku penuh sendu seolah matamu berkata bahwa kamu bahagia memiliki wanita sepertiku .
Aku senang .... jika saja senja itu akan benar-benar ada .

Jumat, 06 April 2018

Aku tak pernah menyangka jika hari ini akan tiba.  Ketika hari yang di tunggu2. Hari kepulangan. Hari yang semestinya menjadi titik kebahagian untuk kita karena kembali saling di pertemukan setelah sekian lama mengukur jarak. Tapi kenyataannya tidak. Takdir justru membawaku pulang kali ini untuk menyudahi segala kemelut dan ketidak pastian yang lama tercipta di antara kita. 

 Akirnya,  aku menyerah.  


Maap.  Bukan karena benar ingin,  kamu boleh melihat bendungan besar yang tengah ku simpan di kelopak mataku jika tidak percaya.  Hanya saja aku mulai lelah.  Menggantungkan harap pada segala ketiktahuan,  menunggumu dalam remang tanpa tahu apa kamu akan datang tuk membawakan lilin, atau justru mencipta gelap yang semakin pekat.  Sudah cukup.  Aku lelah untuk terus mencoba membaca segala aksaramu yang selalu nampak absurd.  Kali ini aku benar ingin menyerah. 


Seseorang di sebrang sana tengah siap menantiku sembari mengulurkan tangan.  Dia yang tengah siap membersamaiku menyudahi perjalanan sekaligus memulai petualangan yang baru.  Dalam biduk yang lebih Allah Ridhoi tentunya. 


Jika kamu bertanya tentang siapa dia?  Aku tidak tahu.  Tapi bagiku dia adalah kompas yang Allah kirim untuk menunjukkan arah dalam segala ketersesatanku.  Bukan hanya menunjukkan jalan pulang,  tapi dia juga menawarkan untuk membersamai perjalannan hingga kami sama sampai di tempat tujuan. 


Bukan hal yang mudah memang,  menerima seseorang baru untuk kemudian di jadikan partner seumur hidup. Terlebih segala bilik di hatiku sudah hampir terpenuhi seluruhnya oleh kamu.  



Tapi inilah hidup. Inilah jalan takdir-Nya.  Kamu yang ku pikir baik untukku, tapi ternyata tidak bagi Allah.  



Dan Allah pilihkan dia sebagai orang yang akan menjadi penyempurna separuh dari agamaku.  



Terdengar klise.  Memang.  Tapi bagaimanapun ku hanya yakin bahwa takdir-Nya selalu yang terbaik. 



Bertahun Allah biarkan perasaan itu terus tumbuh dan mengakar tanpa pernah memberi tahu kemana arahnya akan menjalar.  Bertahun ku biarkan segala berjalan seadanya,  meski sambil menahan tatih aku berjuang untuk bertahan. Mempertahankanmu.  Tapi sepertinya kamu tidak melakukan hal yang sama.  Berjuang sendirian itu melelahkan. Dan kamu membiarkanku melakukan itu.  Tapi aku tidak akan mengataimu jahat.  Anggap saja kamu memang tidak tahu tentang semua. 


Dan dengannya...  Segala terasa jauh lebih mudah.  Pertemuan tanpa nama,  dan percakapan tanpa tema menghantarkannya untuk yakin begitu saja,  bahwa akulah tulang rusuknya. Tanpa banyak kata,  dia begitu saja datang untuk menawarkan kepastian.  Di hadapan umi di hadapan abi,  dia kukuhkan niatnya  untuk memintaku secara gamblang.  Lalu bagian mana yang mesti membuatku untuk tidak menerimanya? 


Bukankah islam mengajarkan,  bahwa "jika ada laki-laki baik yang kamu Ridhoi agamanya datang melamarmu, maka terimalah. Karena jika tidak,  akan terjadi pitnah yang sangat besar."  


Dan tugasku sebagai umat hanyalah sami'na wa atona. Mendengar dan taat. 


Meski jika harus jujur.  Hatiku saat ini masih begitu limpung. Masih terbesit sedikit keinginan dan angan tentang, jika saja kamu yang datang terlebih dahulu.  Ahh sudahlah. Bukankah panjang angan-angan itu tidak baik. Dan hanya akan membuat kita tidak bersyukur. Karena walau bagaimanapun perasaanku saat ini terhadapmu, yang terpenting hatiku telah yakin untuk memilihnya.  Dan itu sudah cukup untuk menyudahi segala.


Aku kembali menatap tumpukan undangan bernuansa hijau yang tengah berjejer rapi di ruangan tengah di rumahku.  Masih menatapnya tidak percaya.  Iyah... Di salah satu kertas itu namamu tertulis.Seperti mimpiku bertahun lalu.Hanya saja nama kita tidak berdampingan disana.Ada nama laki-laki lain yang mengisi posisi itu. Sementara namamu...  Terukir dengan rapi dalam kotak tamu. 


Hatiku perih. Lalu bagaimana denganmu? 


Hari itu kamu bahkan menangis lebih kalut dariku. Aku sebenarnya tak paham. Bagaimana bisa aku yang patah, tapi justru kamu yang sampai berurai air mata.

Hingga detik berikutnya setelah segalanya hampir terlambat atau memang sudah benar-benar terlambat. Entahlah,  aku merasa telah menjadi manusia paling tak tahu diri karena telah dengan tega menyakiti hati perempuan selembut kamu.

15 menit lagi keretamu bahkan akan segera pergi. Dan lihatlah. Aku dengan segala ketidakberdayaanku juatru masih betah berguling-guling di atas tempat tidur. Sembari memandangi ruang percakapan terakhir kita via whatsshap. 

 Adalah seminggu yang lalu.  Ketika pesanmu tetiba saja masuk setelah beberapa bulan menghilang pasca tragedi patah hatiku atas pernikahan Risa dan Agung.

"Pengajuan beasiswa S2 ku di trima. Jogja. Minggu besok aku berangkat. " 

Tulismu. 

Semestinya aku bahagia bukan?  Aku tahu betul bagaimana kamu merancang mimpi-mimpi itu sejak lama. Tapi entah kenapa mendengar segalanya terwujud hatiku justru terasa sesak. Bukan, bukan karena tidak bahagia. Tentu saja. Hanya saja jarak itu yang membuatku tetiba saja menjadi begitu takut. Bagaimana jika selepas pergimu tak ada lagi yang mampu menyamankan aku seperti kamu melakukannya. Bagaimana jika kemudian kamu menemukan rumahmu terlebih dahulu?  Lalu kamu berhenti memedulikanku. 

Baiklah,  kamu boleh mengataiku egois. Memang. Setelah lama aku mencoba bungkam. Berusaha menutup diri dan berpura tidak mengetahui apa-apa tentang perasaanmu. Aku bahkan memutuskan untuk tidak membalas pesanmu saat itu.

 Dan Hari ini bisa-bisanya aku ingin sekali menghentikan kepergianmu, dengan alasan "perasaanku".  Hhhh... Dimana letak hati nuranimu arga. Rutukku.

Baiklah...  Kali ini mungkin aku yang mesti belajar untuk menjadi sekuat kamu. Berpura saja,  bahwa aku bahagia dengan keputusanmu. Hanya berpura. Yah...  Tidak ada salahnya bukan. Asal itu demi kebaikanmu.

"Congrats.  You get it.  Jaga diri baik-baik. Maap karena blm sempet temuin kamu. But I am proud of you and I am happy for you. Be succses. "
Send.

Hanya itu...  Iyah,  hanya itu yang detik ini berani ku utarakan untukmu. Selanjutnya kamu boleh menyebutku pengecut,  karena telah membiarkanmu pergi dengan segala ketidakpastian yang terjadi di antara kita.

Kamu. Pergilah. Usahakan saja apa-apa yang menjadi mimpimu. Pun aku,  akan terus belajar untuk lebih mengusahakan apa-apa yang memang sudah sepatutnya ku usahakan. Kamu misalnya.

Arghh...  Sudahlah. Aku tak mau lagi jadi laki-laki yang terlalu banyak menebar harap. Yang kemarin sudah cukup. Menyakitimu saja rasanya sudah menjadi balasan paling menyakitkan untukku. Kali ini Aku mau memperjuangkanmu. Sungguh. Tapi kurasa kamu tak perlu tahu.


Sabtu, 31 Maret 2018

Selamat Melepaskan dan Selamat Mengikhlaskan

Aku berusaha menutup kedua telingaku saat ibu dan kedua kakakku masih saja sibuk menyebut-nyebut namamu.  Seolah kamu memang benar tamu yang di kirim Tuhan untuk kemudian mengisi rumahku.

Entahlah...  Mungkin mereka hanya belum tahu bahwa segalanya telah selesai.  Kamu pergi bahkan sebelum semua benar-benar di mulai. 

Mereka masih menyebut-nyebutmu sebagai satu-satunya penghuni yang mungkin masih ku tunggu. 

Maapkan atas segala ketidak kuasaanku,  aku hanya terlalu kelu, dan aku hanya terlalu beku untuk menyatakan bahwa kamu memang hanya seorang musafir yang kala itu sedang mampir.  Segalanya telah selesai,  kamu sudah pergi.  Dan kisah kita menggantung di udara seperti uap-uap air yang enggan jatuh ke bumi.

Aku bahkan telah kehabisan kata, untuk sekedar bertanya kabar.

Kumelepaskan...  Bahkan ke titian yang paling dalam.  Ku yakin kamu akan selalu baik saja,  sebab ada Dia yang maha sebaik-baiknya penjaga. 

Segalanya telah ku tuntaskan....  Kecuali Doa,  yang tak akan pernah berujung ku gentarkan (untukmu) .


Berbahagialah dengan apapun yang menjadi pilihan hatimu.  Sebab dengan bahagiamu,  ada hati yang juga turut merasa dan bibir yang juga ikut tersenyum.  Aku. 

Sabtu, 24 Maret 2018

Allah hadirkan pertemuan sebagai hadiah atas ikhlasnya sebuah penantian.

Aku kamu dan kita hanyalah sepintal benang yang entah tak tahu bagaimana caranya untuk menyulam.

Beribu fajar berlalu,  senja kian terbenam hingga kembali lagi menyisakan langit yang kelam.  Di titian malam kita berharap.

Allah hadirkan pertemuan ...

Allah satukan pintalan ini menjadi sutra yang akan mengindah bersama Ridhomu.
 Ganti segala kelam dengan sejuk embun yang dapat kami hirup kala shubuh Mu menyerbu.

Allah hadirkan pertemuan...

Atas ikhlasnya segala tunggu yang pernah memilu.

Allah jadikan resah ini sebagai tasbih yang akan membuat cinta ini kian menguat untukMu.

Allah ubah segala lelah sebagai dzikir yang akan menghantarkan kami pada jarak terdekat menujuMu.

Allah dekatkan, jika cinta ini adalah sebuah penghantar kami untuk lebih mencintaiMu.

Allah jauhkan jika cinta ini adalah jarak yang akan menjadikan kami yang jauh dari kecintaan kepadaMu.



Maret 2018

Minggu, 11 Maret 2018

Jangan terlalu di pikiri soal apa-apa yang tidak dapat kita miliki, tentang beberapa yang memang tidak dapat kita raih.  Bukan kehidupan namanya jika selalu berjalan secara sempurna dan searah dengan yang kita inginkan.  Bukan kehidupan namanya jika tanpa di sesaki dengan kecewa pun rasa lelah. Kita ini kan hanya di pinjami. Jangan begitu merasa memiliki .

Kamis, 01 Februari 2018

Secangkir Kopi


Hujannya sudah reda. Kopinya juga sudah dingin.  Semua seakan membeku.  Hanya sesakku yang tetap memburu. Menatap mu seperti ini.  Jika kamu pikir hatimulah yang paling hancur atas berita bahagianya.  Kamu salah.  Semestinya kamu tahu bahwa hatiku jauh lebih hancur melihatmu begini. Sudah hampir hampir 60 menit. Dan kamu masih tetap seperti itu.  Duduk dengan lesu sembari menatap tanpa minat kopi hitammu yang bahkan tidak kamu sentuh sedikitpun.

"Kalau kamu masih mau begini. Aku pulang saja. "  Ucapku akhirnya. Memecah kebisuan. 

Kamu hanya mengerling. Tak menjawab sedikitpun.

" Aku tahu kamu sedih. Kamu patah.  Kamu terluka. Tapi apa kamu pikir dengan begini semua bisa membaik?  Apa dengan begini kamu bisa memutar waktu untuk kemudian bisa lebih memperjuangkan Risa?"

"Ini semua takdir-Nya Ga. Kamu dulu selalu ngulur waktu buat perjuangin dia, itu bukan sepenuhnya salah kamu. Allah yang buat hati kamu ragu. Sampai  laki-laki itu lebih dulu datang kepada orang tuanya. Dan akhirnya Risa menerimanya dengan mudah. Kamu pikir itu salah kamu?  Salah laki-laki itu?  Salah Risa? Atau salah orang tuanya Risa?  Bukan Ga. Ini semua takdir-Nya. Atas kehendak-Nya.  Dan kamu mesti terima. "

Aku menghentakkan kakiku.  Baru saja ingin pergi. Tapi lagi, kamu menahannya. Pelan kamu tarik tas selempangku,  dan mengisyaratkan untukku kembali duduk.  Dan dengan bodohnya aku menurut. 

Baiklah Arga,  aku memang tak sepenuhnya ingin meninggalkanmu. Terlebih dalam keadaanmu seperti ini. Tapi rasanya aku memang perlu melarikan diri,  sebelum akhirnya buih-buih ini merobek tembok pertahananku dan meluncur dengan bebas dihadapanmu.  Cukup kamu yang terlihat mengenaskan hari ini. Aku tak ingin.

"Maapin aku." Katamu akhirnya.

Air mataku sudah berjatuhan dengan bebas saat itu.  Tanganku bahkan sudah kebas sejak tadi melawan dinginnya senja dan kota Bandung. Tapi untukmu aku mencoba kuat. Bagaimana tidak,  aku sahabat terbaikmu kan?  Setidaknya itu yang selalu kamu katakan,  meski pada kenyataannya hatiku selalu menolak . Aku mengharapkan yang lain ga.  Bukan hanya sekedar sahabat. Tapi baiklah. Mungkin aku hanya perlu mengesampingkan egoku . Dan untuk itu aku masih disini sekarang.

" Selagi aku masih mencintai Tuhan, kamu tak perlu khawatir. Karena mencintai Tuhan berarti mencintai juga takdir yang Ia berikan. Kan? "  katamu lagi, dan itu sontak membuatku terperangah.

" Heyy...  Itu kata-kata penulis favouritku kan?  Kamu masih ingat? "

" You are my best.  Aku baca apapun yang kamu baca. Dan rasanya aku gak bisa buat gak jatuh cinta sama apapun yang kamu suka.  So how I can forget it. "

Kamu tersenyum. Aku juga.  Arghh...  Bahkan pipiku terasa menghangat sekarang. Apa ia memerah? Owh lihat lah Arga. Bahkan hal paling kecil yang kamu lakukan selalu saja nampak begitu manis di mataku. Apa begini yang mereka katakan cinta?  Logika mampu tertutup begitu saja oleh banyaknya harapan-harapan yang di ciptakan oleh diri kita sendiri . Dan rasa sakit mampu menggelincir seketika, luruh hanya karena menyaksikan kamu tersenyum.


Matahari sudah semakin tenggelam. Langit juga sudah gelap. Udara Bandung semakin mendingin. Tapi hatiku tidak. Ia mengepul seperti asap kopi yang baru di tuang ke dalam cangkirnya. Hangat. 





TENTANG KITA

Kita tidak perlu menjelaskan kepada dunia bahwa kita dekat. Lebih dari satu dekade. Bukan waktu yang singkat untuk sebuah persahabatan. Mesk...